Desa Wanurejo, babad desa ini di mulai
oleh BPH ( Bendoro pangeran Harjo ) Tejokusumo, beliau lahir dari kraton
Mataran ( Yogyakarta ) 17 Mei 1769, dan merupakan putra dari Sri Sultan
Hamengkubuwono II, dari garwo ampean bernama Dewi Rantamsari. Setelah
beliau diberi tanah perdikan bernama Wonorejo. Wonorejo pada masa itu
merupakan wilayah Kraton Mataram, beliau dinobatkan sebagai Adipati pada
tanggal 17 Mei 1799 dan bergelar Wanu Tejokusumo.
Eyang Wanu Tejokusumo menikah dengan
Roro Ngatirah ( putri dari Pangeran Puger II dari garwo ampean Siti
Sundari ). Tujuan pemberian tanah perdikan itu adalah untuk memperkuat
jaringan perjuangan pribumi dalam mempertahankan bumi pertiwi dari
penjajahan Belanda.
Perintahan Wonorejo pada waktu Eyang
Wanu Tejokusumo mengajak saudaranya ipar yaitu Eyang Tjokroprawiro yang
kemudian diangkat menjadi Patih. Untuk melengkapi pemerintahannya Eyang
Wanu Tejokusumo mengangkat :
Eyang Benawi ( menantu Pangeran Puger II ) sebagai Panglima Perang
Eyang Brojokumoro sebagai Kepala Keamanan
Eyang Singo Leksono sebagai Staf Pemerintahan
Eyang Eyang Suro Negoro sebagai Sesepuh Kadipaten
Eyang Surokerto ( Eyang Beji ) di tempatkan sebagai Demang ( sekarang desa itu disebut Gedongan )
Eyang Mahesa Amanto ( Eyang Sorok / Bregodo ) di tempatkan didaerah Soropadan ( sekarang )
Eyang Suro Wongsoprawiro ( Eyang Jugil ) di tempatkan di daerah Jowahan ( sekarang ), beliau terkenal sebagai pembobol logistik Belanda untuk kepentingan pribumi.
Eyang Pembarep di tugaskan di daerah Barepan ( sekarang ).
Eyang Mubharok ( adik kandung Eyang Tjokro Prawiro ) ditugaskan untuk syiar Islam.
Eyang Benawi ( menantu Pangeran Puger II ) sebagai Panglima Perang
Eyang Brojokumoro sebagai Kepala Keamanan
Eyang Singo Leksono sebagai Staf Pemerintahan
Eyang Eyang Suro Negoro sebagai Sesepuh Kadipaten
Eyang Surokerto ( Eyang Beji ) di tempatkan sebagai Demang ( sekarang desa itu disebut Gedongan )
Eyang Mahesa Amanto ( Eyang Sorok / Bregodo ) di tempatkan didaerah Soropadan ( sekarang )
Eyang Suro Wongsoprawiro ( Eyang Jugil ) di tempatkan di daerah Jowahan ( sekarang ), beliau terkenal sebagai pembobol logistik Belanda untuk kepentingan pribumi.
Eyang Pembarep di tugaskan di daerah Barepan ( sekarang ).
Eyang Mubharok ( adik kandung Eyang Tjokro Prawiro ) ditugaskan untuk syiar Islam.
Pada tahun 1825 ketika perlawanan
Pangeran Diponegoro terhadap kolonialisme Belanda disepanjang pegunungan
Menoreh, Eyang Wanu Tedjokusumo menyamar sebagai Wanurejo dan bersatu
dengan Pangeran Diponegoro melawan Belanda, sebagai bukti sekarang masih
tersimpang Bedhug ( genderang perang ) yang ada di Masjid Tiban Baitur
Rohman ( di dusun Tingal Wetan ).
Pada tahun 1835 karena putra Eyang Wanu
Tejokusumo ditinggal di Mataram maka ditunjuklah penganti pimpinan
pemerintahan Wonorejo adalah Patih Tjokro Prawiro dan untuk jabatan
patih ditunjuk Eyang Benawi. Pada tahun 1836 Eyang Wanu Tejokusumo
meninggal dunia, dan untuk menghormati jasa jasa beliau nama Kadipaten
Wonorejo di ganti menjadi Desa Wanurejo sampe sekarang.
Perkenalkan saya adalah Dana Paristya. Saya adalah salah satu keturunan dari Eyang Tjokro Prawiro generasi ke 6, melalui ibu saya Suweni, Eyang Djafar Suromihardjo, Eyang Joyo Taruno dan Eyang Tjokrodiwiryo.
ReplyDelete