Friday 7 September 2012
Wisata Kerajinan Kawasan Borobudur
WISATA KERAJINAN WISATA BOROBUDUR
1.WISATA BELANJA
Wisata Belanja di Sentra-sentra kerajinan tangan desa-desa sekitar borobudur
salah satunya di dusun jowahan.di LIDIAH ART, DEDI SOFENIR, dan Pusat Kerajinan lainnya
anda bisa membeli dan bisa mempraktekkan lasung proses pembuatan aneka kerajinan yang di buat
oleh para perajin di desa tersebut.
2. WISATA EDUKASI
yang menarik di sentra kerajinan desa ini para pengunjung bisa terlibat langsung dalam rangka
mengasah kreatifitasnya dibidang kerajinan tangan dengan cara membuat sendiri aneka kerajinan
yang diinginkan dengan dipandu oleh para perajin didesa tersebut.
Kesenian Pituturan
(doc. Dusun Jowahan)
|
Kesenian Pituturan
merupakan kesenian lokal asli masyarakat Dusun Jowahan. Kesenian ini
menampilkan pelantunan tembang-tembang berbahasa Jawa dengan diiringi tabuhan
rebana dan gendang. Syair-syair yang ditembangkan berisi tentang ajaran agama
islam seperti tata cara beribadah sholat, rukun islam, rukun iman, dan hal-hal
lain yang berkenaan dengan keagungan Tuhan.
Usia kesenian ini sudah
hampir satu abad. Menurut cerita, kesenian Pituturan dikembangkan pertama kali
oleh R. Soedarmo Nitihardja, seseorang
keturunan berdarah
ningrat yang pernah menjabat sebagai lurah desa Wanurejo. Konon, R. Soedarmo
Nitihardja menciptakan syair-syair Pituturan dengan dibantu Kyai Abdurroub dari
Mendut. Para tetua setempat percaya bahwa keberadaan kesenian Pituturan tidak
lepas dari penyebaran agama islam di Dusun Jowahan dan sekitarnya.
(Doc. Dusun Jowahan)
|
Pendopo Nitihardjan
Pendopo Nitihardja, tampak dari
depan (2012)
|
Di
dusun Jowahan terdapat sebuah objek wisata budaya berupa pendopo Nitihardjan. Usia
pendopo ini sudah 100 tahun lebih. Pendopo ini didirikan oleh R. Soedarmo Nitihardja
(1884-1966), salah seorang keturunan ningrat dari Keraton Yogyakarta, yang pernah menjabat sebagai lurah
Desa Wanurejo (1927-1933). Pendopo
Nitihardjan ini terlihat bergaya arsitektur Yogyakarta.
Payung yang
berupa salah satu benda
peninggalan R. Nitihardja
|
Pendopo Nitihardjan dulunya merupakan kediaman pribadi lurah Nitihardja. Keseluruhan bangunan berbentuk joglo ini terdiri atas tiga bagian, yakni; pendopo (depan), pringgitan (tengah), dan ndalem (tempat tinggal yang sifatnya pribadi). Menurut Bu Tatik, salah seorang cucu lurah Nitihardja yang merawat rumah ini, dahulunya bagian pelataran pendopo sering digunakan untuk menggelar acara wayang. Acara wayang biasanya digelar setahun sekali. Ketika pertunjukan itu digelar, semua warga Jowahan tumpah ruwah memenuhi seluruh pendopo. Kini, pendopo Nitihardjan menjadi tempat penyimpanan seperangkat gamelan.
Seperangkat gamelan yang disimpan
di dalam pendopo Nitihardjan (2012)
|
Sejarah Desa Wanurejo
Desa
Wanurejo terletak 600 meter di sebelah timur Candi Borobudur. Kata Wanurejo
berasal dari bahasa Sansekerta, yakni vanua
yang artinya desa, dan reja yang
berarti makmur. Istilah vanurejo
disebut pertama kali dalam prasasti Canggal (723 M) sebagai salah satu desa
yang makmur pada masa kerajaan Mataram Hindu. Vanurejo kembali muncul dalam prasasti Karang Tengah berangka tahun
812 M.
Meskipun disebut-sebut dalam prasasti
peninggalan dinasti Mataram Kuno, sejarah Desa Wanurejo baru dimulai sejak
B.P.H (Bendoro Pangeran Harjo) Tejokusumo mendapatkan perintah Sultan
Hamengkubuwana II untuk membawahi sebuah tanah perdikan bernama Wonorejo. B.P.H
Tejokusumo merupakan putra Sultan Hamengkubuwana II dari garwo ampean bernama Dewi Rantamsari. B.P.H Tejokusumo kemudian
dinobatkan sebagai adipati
pada tahun 1799 dan membawahi daerah Kadipaten Wonorejo. Batas wilayah
Kadipaten Wonorejo adalah sebelah barat berbatasan dengan Desa Kajoran,
Purworejo, sebelah timur berbatasan dengan Salam, dan sebelah utara berbatasan
dengan Mertoyudan.
Sepenggal
cerita rakyat yang sampai saat ini masih hidup dalam ingatan masyarakat
Wanurejo adalah perlawanan heroik Pangeran Diponegoro melawan pemerintahan
kolonial Belanda. Konon, saat Pangeran Diponegoro memimpin perjuangan di lereng
bukit Menoreh, Eyang Wanu Tejokusumo menyamar dengan nama Wanurejo dan
membangun barisan perlawanan bersama dengan Pangeran Diponegoro. Masyarakat
Wanurejo percaya bahwa sebuah bedug bernama Genderang Perang Pangeran
Diponegoro yang disimpan di Masjid Tiban Baitul Rahman, Tingal Kulon, merupakan
bukti nyata perjuangan Eyang Wanu Tejokusumo, pendiri Kadipaten Wonorejo.
Enam
tahun berselang setelah Perang Jawa usai, pada tahun 1836, Eyang Tejo Kusumo
wafat. Oleh karena Eyang Tejo Kusumo tidak memiliki keturunan, maka ditunjuklah
Patih Cikro Pawiro sebagai pengganti Eyang Tejo Kusumo. Pada masa pemerintahan
putra Cikro Prawiro, status administratif Kadipaten yang disandang Wonorejo
berubah menjadi kelurahan. Sejarah Kadipaten Wonorejo berubah menjadi Desa
Wanurejo sampai sekarang ini.
Kesenian
KESENIAN
Dusun
Gedongan terkenal dengan kesenian tari Topeng Ireng, atau yang lebih dikenal
dengan nama Dayakan. Kesenian Topeng Ireng ini telah ada di Dusun Gedongan
sejak tahun 1986. Kesenian tersebut di bawah bimbingan kelompok “Manusia Rimba”.
Saat ini, kelompok “Manusia Rimba” dipimpin oleh Mas Sunantri atau yang akrab
dipanggil Mas Gotri yang sudah menjadi ketua selama enam tahun. Anggotanya saat ini mencapai 70 orang dan dibagi ke
dalam tiga kelompok, yakni anak-anak, perempuan, dan dewasa.
Kesenian tari Topeng Ireng “Manusia Rimba” ini juga sarat dengan prestasi. Di antaranya adalah juara 1 Kirab Dji Sam Soe antar kelurahan, juara 1 Antar Klub se-Borobudur, dan juara 3 antar kecamatan.
Sejarah kesenian Topeng Ireng di Dusun Gedongan ini
justru diperkenalkan pertama kali bukan oleh warga Dusun Gedongan atau warga
Desa Wanurejo. Akan tetapi, diperkenalkan oleh warga Desa Tuksongo, Kecamatan
Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Kabarnya, warga Desa Tuksongo banyak
yang bertransmigrasi ke Kalimantan. Selanjutnya, mereka terinspirasi dengan
tarian suku Dayak dan kemudian memperkenalkannya kepada warga Desa Tuksongo. Kesenian
tersebut akhirnya menyebar ke desa-desa lain yang ada di sekitarnya, termasuk di
Desa Wanurejo. Salah satunya yang akhirnya berkembang dengan pesat adalah di
Dusun Gedongan.
Koreografi tari Topeng Ireng yang bersemangat, dinamis, dan variatif merupakan kolaborasi antara tarian tradisional, tarian modern, dan koreografi hasil kreasi sendiri. Di setiap koreografinya, hampir selalu disisipkan cerita-cerita rakyat setempat, misalnya cerita Kyai Gedong dan cerita Sri Wuning. Durasi waktu untuk sekali pentas juga bervariasi, yakni antara 5 menit hingga 30 menit.
Koreografi tari Topeng Ireng yang bersemangat, dinamis, dan variatif merupakan kolaborasi antara tarian tradisional, tarian modern, dan koreografi hasil kreasi sendiri. Di setiap koreografinya, hampir selalu disisipkan cerita-cerita rakyat setempat, misalnya cerita Kyai Gedong dan cerita Sri Wuning. Durasi waktu untuk sekali pentas juga bervariasi, yakni antara 5 menit hingga 30 menit.
Kesenian tari Topeng Ireng “Manusia Rimba” ini juga sarat dengan prestasi. Di antaranya adalah juara 1 Kirab Dji Sam Soe antar kelurahan, juara 1 Antar Klub se-Borobudur, dan juara 3 antar kecamatan.
Kelompok
“Manusia Rimba” ini tidak menutup kemungkinan untuk merekrut anggota yang
berasal dari luar Dusun Gedongan. Meskipun demikian, ada beberapa persyaratan
yang harus dipenuhi oleh setiap anggotanya, yakni disiplin, tertib, bersedia
untuk tidak mengajari koreografi tari Topeng Ireng di tempat lain, dan tidak
boleh ikut di kelompok tari Topeng Ireng atau Dayakan lain.
Homestay Dusun Jowahan
Homestay “Omahe
Simbok” tampak dari depan (2012)
|
Di Dusun Jowahan terdapat sejumlah homestay yang dikelola secara pribadi
oleh warga. Beberapa rumah warga biasanya menyediakan suatu ruangan khusus
untuk tempat penginapan para wisatawan
yang berkunjung ke desa
Wanurejo.
Wisatawan asing maupun
wisatawan lokal kerap menginap di homestay
dusun Jowahan ini. Harga sewa kamar di homestay
yang
ditawarkan pun bervariasi,
mulai dari ratusan
ribu rupiah hingga lebih
dari satu juta.
Di antara beberapa homestay yang terdapat di Jowahan, “Omahe Simbok” merupakan salah satu homestay yang memiliki keunikan dari pada homestay lain. “Omahe Simbok” yang berdiri pada tahun 2011 ini menawarkan sebuah tempat
penginapan bernuansa Jawa klasik. Bentuk rumah dan perabotan di dalamnya
memiliki
unsur etnisitas kebudayaan
Jawa . Para tamu yang menginap di
homestay “Omahe Simbok” ini dapat merasakan tinggal dalam suasana
rumah pedesaan
Jawa tempo doloe.
Subscribe to:
Posts (Atom)